Sorga
berasal dari “Svar” yang artinya cahaya dan “ga” (go dalam bahasa inggris) yang
artinya pergi. Jadi Sorga artinya pergi menuju cahaya. Di dalam Weda dan Upanisad
dikatakan Sorga itu adalah dunia penuh cahaya, dimana cahaya matahari, bulan
dan bintang tidak ada apa-apanya. Sorga bukanlah tempat “hiburan” dimana
manusia (lelaki) dapat memenuhi nafsu badaninya.
Sorga
sifatnya hanya sementara. Bhagawad Gita menyatakan:
“Mereka menikmati sorga yang luas dan ketika
buah dari karma baik mereka habis, mereka memasuki dunia yang tidak abadi ini;
demikianlah mereka yang mengikuti aturan Weda, mendambakan hasil dari perbuatan
mereka, memperoleh lingkaran hidup dan mati” (Bhagawad Gita IX.21)
Sedangkan
Neraka didefinisikan sebagai ‘pergi ke
bawah’ atau satu tempat di mana tidak ada sedikit pun jejak kebahagiaan.
Di
dalam Weda, dari 21.425 mantranya, hanya 3 yang bicara tentang neraka dan
Upanisad hanya 1 sloka yang bicara tentang neraka:
Ke dalam daerah tanpa dasar itu, Indra dan
Soma, jatuh orang yang tidak bermoral!
Ke dalam kegelapan yang tanpa dasar jatuh
mereka, sehingga tak seorang pun dari mereka pernah balik lagi. (Rg Weda
VII.104.3)
Tanpa cahaya dan bersifat jahat,
sesungguhnya dunia-dunia itu. Dan dibungkus oleh kegelapan yang membutakan, ke
tempat itulah semua manusia yang menjadi musuh bagi jiwa-jiwa mereka pergi
setelah kematian. (Isa Upanisad 3)
Apakah
neraka Hindu tidak terlalu lunak? Bila demikian bukankah berarti Hindu tidak
menghukum para penjahat secara setimpal?
Penderitaan
mereka akan dialami dalam kelahirannya kembali di dunia ini. Hindu berpandangan
kesalahan tidak boleh dihukum lebih dari satu kali, sementara perbuatan baik
dapat diberi penghargaan berkali-kali.
Pertama
saat perbuatan itu dilakukan kita merasa bahagia, semata-mata karena telah
melakukan perbuatan baik. Kedua ketika menerima hasil perbuatan baik itu.
Ketiga, ketika mati, perbuatan baik itu akan mengantar kita ke sorga. Keempat,
bila kita lahir kembali, kita akan beruntung. Kelima, pada akhirnya perbuatan
baik itu akan membawa kita mencapai moksa (karma yoga).
Lukisan
neraka dalam Weda sangat menahan diri. Sementara hukuman tetap dijalankan,
tidak ada yang dilebih-lebihkan. Bahkan melalui reinkarnasi mereka diberikan
kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahannya. Dengan penderitaan itu manusia
merenungkan dirinya, mengevaluasi tindakannya. Dan dengan itu berupaya
memperbaiki hidupnya.
Jadi
neraka, tepatnya penderitaan dalam Hindu bersifat konstruktif, bukan balas
dendam. Tidak ada siksaan kejam yang berlebih lebihan yang ditimpakan kepada
manusia sepanjang masa, seperti yang ditulis dalam kitab suci agama-agama lain.
Setelah
menikmati sorga atau neraka, jiwa bisa lahir kembali ke dunia untuk melanjutkan
evolusinya sampai mencapai moksa. Tetapi yang penting diingat sorga Hindu
bukanlah sorga di mana manusia memuaskan nafsu badaninya. Karena yang hidup di
sorga Hindu hanya jiwa, tanpa badan kasar. Neraka Hindu juga tidak seperti
neraka dalam agama lain yang merupakan tempat penyiksaan yang kejam dan abadi,
terutama bagi yang tidak seiman. Neraka dalam Weda hanya disebut dalam tiga
mantra sebagai tempat kegelapan saja. Lawan dari sorga yang artinya dunia yang
selalu terang.
Berbeda
dengan sorga yang ada di dunia spiritual, bukan dunia fisik ini, neraka itu
sebetulnya ada didunia ini, dalam bentuk penderitaan. Tetapi penderitaan kita
di dunia ini bersifat konstruktif. Bukan kekejaman dan balas dendam tanpa
batas.
Penderitaan
membuat manusia melakukan refleksi, membuat hidup seseorang menjadi dalam dan
bermakna. Orang yang tidak pernah menderita (apakah ada?) hidupnya dangkal.
Porselin
yang indah dan mahal adalah tanah liat yang sudah mengalami penderitaan:
ditumbuk, dibentuk dan dibakar dalam api yang sangat panas. Hasilnya barang
seni yang berguna, indah dan tinggi nilainya.
Sepotong
bambu setelah dilubangi tubuhnya dengan bor panas menjadi seruling yang
menghasilkan suara merdu.
Kesimpulannya,
sorga dan neraka merupakan tempat singgah dalam perjalanan evolusi jiwa untuk
mencapai tujuan akhirnya, moksa.
Sumber: Petunjuk Untuk Yang Ragu